Saat ini, kain Lurik telah melekat pada berbagai fesyen modern. Selain sebagai penutup tubuh, fungsi kain Lurik juga bertransformasi untuk mengekspresikan identitas dan menunjukkan gaya. Namun, tahukah Kawan Lori? Mulanya, akses terhadap Lurik tidak sebebas seperti sekarang. Hal ini setidaknya bisa dilacak pada berbagai kebudayaan di masa lalu, salah satunya adalah masyarakat keraton Surakarta pada 1700 hingga 1900-an.
Kala itu, Lurik memang menyatu dengan seluruh lapisan masyarakat, mulai dar priyayi bangsawan sampai rakyat kecil. Namun penggunaannya terbatas hanya pada momen sakral seperti upacara adat. Hal ini berkaitan erat dengan tingginya nilai filosofis dari Lurik itu sendiri, yang termanifestasikan ke dalam warna, garis, dan motif kain Lurik itu sendiri.
Misalnya, keraton Surakarta setiap 8 tahun sekali mengadakan upacara adang. Adang, adalah upacara menanak nasi yang dilakukan sendiri oleh ISKS Paku Buwono, raja keraton Surakarta, pada hari Maulid Nabi Muhamad. Di dalam upacara adat tersebut, kain Lurik menjadi salah satu sesajen yang wajib hadir mendampingi sesajen lainnya, seperti kendil, kenceng, dan dandang. Secara spesifik, kain Lurik digunakan untuk membalut dandang yang dipakai untuk menanak nasi.
Nasi hasil upacara Adang tersebut dipercaya membawa berkah dan bertuah, kemudian dibagi-bagikan kepada masyarakat. Bagi pedagang, petani, dan rakyat kecil, upacara Adang menjadi momen untuk mengharapkan panen yang baik, mendapatkan kesejahreraan rejeki, maupun harapan lainnya sesuai dengan keinginan pribadi masing-masing.
Selain diistimewakan di dalam upacara adat, penggunaan Lurik juga diatur secara ketat antara kaum bangsawan dengan masyarakat biasa. Angger-angger (undang-undang) berbusana yang diterbitkan oleh keraton, tidak membolehkan semua orang memakai kain lurik dengan motif-motif tertentu. Misalnya, kain motif larangan hanya boleh dipakai oleh raja dan kerabat dan dilarang bagi abdi dalem keraton apalagi kawula alit (rakyat kecil).
Makna yang dalam dari kain Lurik membuatnya dikeramatkan bagi pemakainya di masa lalu. Apalagi, bagi masyarakat Jawa secara personal, Lurik mengingatkan mereka terhadap siklus kehidupan manusia yang fana dari lahir hingga kematian. Bahkan, alat tenun tradisional yang digunakan saat itu, yakni gedog, juga memiliki makna yang mendalam tentang identitas, kepercayaan, dan adat istiadat masyarakat Jawa.
Referensi: Wuryani, S. (2013). Lurik dan Fungsinya di Masa Lalu. Jurnal Ornamen, Halaman 81-100.